Setelah saya menonton acara televisi tentang Pemburu gurita, saya langsung ingin sekali menuangkan apa yang saya rasakan di blog ini.
Di acara itu saya melihat banyak pemburu gurita. Dari pria usia muda, hingga seorang kakek yang usianya 75 tahun.Selain itu ada beberapa wanita hebat yang menaiki sampannya hingga 5mil dari tepi pantai.Ternyata mereka ibu-ibu yang akan mencari gurita.
Ada seorang ibu bernama Siti Hawa. Beliau tidak pernah kenal lelah. Yang beliau tau hidup itu penuh perjuangan, dan ikhlas menghadapi semuanya.
Beliau tak pernah takut akan kematian.M eski pekerjaannya itu sangat menantang dan penuh bahaya.
Ombak besar bisa saja membawa dia hingga ke tengah samudera. Menyelam laut sedalam 10 meter adalah kegiatannya sehari-hari. 10ribu rupiah adalah upah untuk setiap 1kilogram gurita. Menyalam ke dasar laut hingga kedalaman 10 meter sungguh bukan hal yang mudah, apalagi tidak dilengkapi dengan alat pengawan, tabung oksigen, pakaian yang sesuai denagn yang seharusnya.
Menyelam di kedalaman laut sedalam 10 meter itu memiliki tekanan yang tinggi dan suhu yang dingin. Dengan keadaan yang seperti itu, bisa saja menyebabkan pembuluh darah pecah. Namun beliau terus berjuang untung mencukupi kebutuhan keluarganya, untuk bertahan hidup bersama 4 orang anaknya.
Sejak tahun 1992 ia menjadi tumpuan bagi keluarganya. Tetap menjalani pekerjaan ini meski usianya yang tak muda lagi. Meskipun dengan pekerjaan seberat dan sebahaya ini, ia masih mempunyai niat dan harapan yang tinggi. Ia tak pernah mengeluh tentang keadaannya. Ia berharap jika suatu hari mendapatkan banyak gurita, ia dapat pergi melaksanakan haji. Subhanallah sekali. Sungguh niat yang luar biasa, meskipun kini ia berkata, "itu hanya bisa diniatkan saja, tak bisa saya laksanakan."
Perempuan-perempuan pemberani itu mengarungi dan menyelam di lautan penuh bahaya di laut Flores NTT untuk berburu
gurita. Nyawa pun siap diregang, padahal hasilnya tidak seberapa.
"Semuanya demi rupiah dan demi hidup," kata mereka.
Perempuan-perempuan pemberani itu mengarungi dan menyelam di lautan penuh bahaya di laut Flores NTT untuk berburu
gurita. Nyawa pun siap diregang, padahal hasilnya tidak seberapa.
"Semuanya demi rupiah dan demi hidup," kata mereka.
10ribu untuk 1kilogram gurita dengan perjuangan seperti itu, sama sekali harga yang tak sebanding dengan gurita yang sedang diolah, bahkan tidak diolah sekalipun, karena ada juga di kota yang mengonsumsi gurita mentah.
Yang biasanya saya makan, untuk satu potong dadu seukuran kuku jempol saja, harga makanan itu 3ribu rupiah.K alau gurita seberat 1kg dipotong dadu, tak terhitung berapa buah potongan dadu gurita itu.
Kenapa sih masih saja ada ketidakadilan di negeri kita ini?
Dimana Pancasila yg berbunyikan "Kemanusiaan yang adil dan beradab" dan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia"? Apa Pancasila sila ke-2 dan ke-5 itu hanya ada di upacara bendera saja?
Disini kita bisa menikmati seafood dengan harga yang tinggi. Kita bisa makan seafood karena para pemburu seafood itu. Upah yang mereka dapat sungguh sama sekali tak sebanding dengan yang mereka lakukan. Entah mereka yang tidak tahu kalau harga seafood itu tinggi, atau para pengumpul ikan yang mengelabui mereka.
Semoga ibu pemburu gurita di NTT itu suatu hari dapat melaksanakan Rukun Islam yang ke-5 dengan izin Allah SWT. para pemburu gurita lainnya dapat hidup sejahtera, selalu ada dalam lindungan-Nya.
Amin ya rabbal alamin :)